Sebutir Rembulan Retak dan Sebotol Arak Cicak

Sebutir matahari melorot pelan dibalik rimbun semak pinggir pesawahan. Sisa angin sore menepuk hamparan jerami kering jejak pesta panen kemarin, hembusannnya menebar aroma khas. Membangunkan sepasang anjing yang tertidur pulas dibawah boneka orang-orangan sawah.

Semburat kuning keemasan di langit seperti selembar selendang matahari yang tertinggal atau sebidang karpet penyambutan pada sang rembulan yang mungkin baru siuman di sudut peraduan. Sayup senandung kidung sandyakala mengabarkan saat peralihan terang, temaram menuju gelap. Kunang-kunang terkesiap, serangga malam bersijingkat memulai pesta raya. Babi-babi di kandang mengembik bising berebut lapak tidur. Disudut pesawahan seorang perempuan muda berkebaya berdiri menyunggi senampan bunga-bunga, menata secarik sesaji, menyalakan selidi dupa lalu merapal mantra tanpa suara. Segaris asap tipis menjalar, seketika urat syaraf menggelepar dan membuat pandangan nanar. Terasa ada yang berdesir di rongga dada, semacam tiupan halus udara diatas kecipak sendang didalam goa.

Glekkkk!!!!
Menenggak seteguk arak sisa semalam, dari botol bekas air mineral dengan bangkai segar sepasang cicak yang terjebak dalam larutan. Merasakan sengatan hangat di kerongkongan, belaian halus di aliran darah tulang belakang dan hembusan gelombang yang menjalar memenuhi tiap rongga dalam kepala.

Menyimak kecipak candu didalam otak, nikmati irama dansa yang muncul tiba-tiba, melayang arungi cakrawala jingga, menyusuri linimasa, menembus rapatnya benteng fatamorgana, melali di alam khayali, melipat dunia dan menyelipkannya di ketiak yang mulai berkeringat. Memamah remah sumpah serapah. Memintal perca khayal bengal, menghidupkan tigabelas bidadari sundal dan meminta mereka menarikan bedhoyo ketawang.

Glekkk!!!… Glekkk!!! Glekkk!!!
Sleeeebbbb!!!
Tiga teguk arak cicak didorong sebongkah asap bakaran linthingan tembakau mengalir menyusuri anatomi. Menyapa temaram yang melintas cepat menyeret sang gelap yang mengendap-endap. Sebutir rembulan krowak bergelantungan di pucuk daun kelapa, selembar layang-layang bergoyang dimainkan angin, seekor burung hantu meronda di persimpangan ranting pohon nangka. Kabut mulai bertandang beriringan bersama dingin. Tigabelas bidadari sundal masih menari, auranya semakin liar dalam keanggunan gerak pelan yang terasa mengancam. Irama sakral makin lambat merambat, menanggalkan helai demi helai busana para bidadari hingga telanjang bulat.

Glekkkk!!!!
Menenggak lagi seteguk arak, tak terasa bercampur bangkai segar sepasang cicak.

Zzzlllleeeebbbb!!!!!
Sebongkah lagi asap bakaran tembakau coba menawarkan rasa pahit di ujung lidah. Menentramkan sumpah serapah yang berdesakan di kerongkongan yang tak lagi basah.

Mendadak cakrawala cekung, bumi menggelembung. Sunyi berteriak-teriak hingga tersedak, dan sebutir rembulan di langit pun nampak retak.

Ubud, 8 Oktober 2020

Comments

comments

Add Comment

I'm not Robot *